Aku
menapakkan kakiku di depan gerbang sebuah pemakaman umum yang cukup terawat.
Makam-makam disusun sedemikian rupa dengan rerumputan yang menutupi tiap pusara
sehingga terlihat seperti sebuah padang rumput, jika saja tidak dipenuhi dengan
keramik-keramik nisan yang tertancam rapi di setiap gundukan.
Sudah
seperti ritual tahunan sebelum Ramadhan untuk mengunjungi anggota keluarga yang
sudah berpulang ke hadapan-Nya; sekedar membacakan do’a secara langsung di
depan makam mereka, juga menabur bunga serta airnya yang wangi.
Aku
berjalan di antara nisan-nisan yang mengkilap masih dengan kemeja kerjaku, mencoba
untuk tidak menginjak-injak tanah yang menggunung hingga akhirnya aku sampai di
depan salah satu makam yang belum ada taburan bunga di atasnya. Aku mengedarkan
pandanganku ke seluruh penjuru pemakaman, semuanya berjongkok membacakan ayat-ayat
suci untuk saudara-saudara mereka.
“Assalamu’alaikum,
Nenek dan Kakek. Apa kabar? Aku rindu pada kalian…” seruku lirih, yang tanpa
sadar membuat air mataku menggenang. Aku pun lalu membacakan Surah Yaasiin
serta do’a untuk ketenangan mereka di sisi-Nya.
Selesai
dengan semuanya, aku menaburkan bunga-bunga yang aku sempat beli di luar. Lalu
hening. Aku masih enggan untuk pulang. Aku ingin terus menemani mereka yang
selalu sayang padaku dulu. Air mata pun mengalir hingga jatuh melalui daguku. Mungkin
aku sekarang terlihat seperti sedang menyesali dosa-dosaku pada sang empunya
makam. Ya, mungkin. Tapi terlebih, ini adalah tangisan sayang yang pantas
mereka dapatkan.
“Nanti
kalau kamu sudah besar, nikahilah gadis yang baik dan sopan ya, Ibrahim…”
Aku
masih ingat setiap kata yang Nenek ucapkan padaku sepuluh tahun lalu sebelum
kepergiannya. Aku juga masih ingat betul dengan jawabanku, “Wanita yang seperti
Nenek, kah?”
Saat
itu beliau hanya mengekeh, sebuah tawa kecil yang membuat hatiku bahagia bukan
main. Aku merasa sangat disayang. Mungkin nasihat yang satu ini adalah nasihat
paling sakral dari beliau. Mungkin beliau tahu bahwa malaikat dengan senyum
berseri akan segera menjemputnya hingga memberi wejangan seperti itu pada
seorang anak yang baru saja lulus SMA?
Namun
kebahagiaan itu tidak lama melanda. Beberapa minggu kemudian Nenek pergi
menyusul Kakek menuju kebahagiaan abadi. Aku tak bisa membendung pedihku
karenanya. Aku sempat merasa putus asa karena lagi-lagi kehilangan figur yang
sangat aku kagumi. Tapi aku sadar bahwa Nenek juga pasti akan marah melihatku
seperti itu, maka aku pun hidup dan menjalani setiap wejangan yang Nenekku
berikan. Sekarang itu sudah seperti sebuah dasar hidup untukku.
Ya,
memang kira-kira begitu. Nenek selalu menyuruhku untuk tidak meninggalkan
sholat, sedekah dan puasa sunnah. Rendah diri adalah ajaran Nenek yang selalu
beliau praktikkan dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau selalu mengajarkanku
agama sedangkan Papa dan Mamaku merantau jauh ke negeri orang untuk menafkahi
kami. Beliau tahu bahwa aku tidak akan selamanya bersama orang-orang yang
kusayang, akan ada saat-saat aku harus sendiri−terutama saat menghadapi
malaikat Munkar dan Nakir.
“Dengan
agama yang kokoh, kamu akan lebih mandiri…” begitu katanya.
Aku
bangkit dan meninggalkan pemakaman yang mulai gelap−tanda langit sore akan
segera menurunkan berkahnya. Aku baru saja menaiki motorku dan hendak memakai
helmku ketika sebuah wewangian yang lembut sudah menerobos jalur pernafasanku.
“Winda…?”
bisikku reflek menyebut nama orang yang kuketahui menyukai wangi lavender
seperti ini.
“Iya..?”
Jantungku
sontak berdetak dengan sangat keras hingga aku takut bocor. Aku menoleh ke arah
suara yang menjawabku barusan dan terpampanglah sesosok wanita cantik dengan
setelan gamis putih dan kerudungnya dengan warna yang sama. Ya Allah, hampir
saja aku lupa diri untuk memeluknya ketika aku sadar bahwa kita bukan muhrim.
“Ah…
Winda! Apa kabar? Lama tak bersua, ternyata aku menemukanmu di sini setelah aku
tak menemuimu di Aceh minggu lalu…” selorohku yang tak mampu membendung rindu.
“Assalamu’alaikum…”
katanya sambil menempelkan kedua telapak tangannya dan menunduk sopan. Ah, aku
lupa salam! Astagfirullah. “Maaf karena tidak memberi tahumu bahwa aku sudah
tiga bulan menetap di sekitar sini.”
Ia
pun melemparkan senyum manisnya, masih menunduk malu. Aku yakin setan saat ini
sedang menggodaku dengan kemampuan terbaiknya. “Menyusulku kah yang
meninggalkan Aceh karena sebuah tuntutan pekerjaan lima tahun lalu?” tanyaku
melanjutkan percakapan.
“Tidak
juga. Aku membantu nenekku berjualan di sekitar sini. Aku tak tega mengetahui
beliau sendirian di kota sebesar ini.”
“Oh,
begitu… Bagaimana jika aku mengantarmu?”
“Ah,
terima kasih, tapi warungnya hanya beberapa meter dari sini…” ia lalu menunjuk
ke sebuah kedai di pinggir jalan dengan spanduk besar menutupinya.
“Boleh
aku mampir?” tanyaku selanjutnya. Sekalian membahas hal yang sudah kutunda
bertahun-tahun, pikirku.
“Boleh
saja, tak ada yang akan melarang.” Jawabnya santai.
Winda
adalah satu-satunya wanita yang terlihat oleh mata hatiku setelah kepergian
Nenek. Kami dahulu adalah tetangga di kota Serambi Mekkah tempatku lahir−walau
kami tidak dekat satu sama lain. Namun karena kami sempat sekolah di pesantren
dan kelas yang sama, kami jadi bisa lebih mengakrabkan diri hingga kami lulus.
Dari dahulu hingga sekarang, ia selalu bisa memukauku dengan kesholehahannya
yang turut menghiasi wajahnya yang jelita.
Ia
adalah salah satu orang yang membantuku berjalan setelah kepergian Nenekku. Aku
sempat mengatakan cinta padanya sebelum aku bertolak ke Jakarta, tapi ia malah
bertanya balik tanpa ada kepastian di dalamnya. Aku masih ingat apa yang ia
katakan saat itu,
“Cinta
yang sejati adalah kepada Allah. Aku takut cinta yang kita jalin nanti malah
akan menjauhkan diri kita pada-Nya. Kenapa kita tidak lebih mendekatkan diri
kita kepada-Nya saja?”
Tak
berapa lama, kami pun sampai dan aku memesan semangkuk lontong sayur buatannya.
“Aku sebenarnya juga hendak meluruskan sesuatu, Win… Hanya jika kamu tidak
keberatan.”
“Apa
itu, Im?”
“Apa
jawabannya?” ia lalu membisu, menghentikan perkerjaannya dengan pisau yang
sedang ia bersihkan. “Tentang pertanyaanku lima tahun lalu…”
Kami
terdiam kaku. Mungkin ia merasa tak nyaman ditanya seperti itu setelah lama berpisah.
Tapi aku sudah berumur dua puluh delapan tahun! Aku harus membuat pilihan.
“Aku
juga cinta padamu, tidak berkurang sedikit pun. Tapi aku takut akan dosa…”
“Kalau
begitu, mari menikah setelah Idul Fitri nanti!”
“Apa
kau sudah yakin, Im?”
“Aku
tak pernah seyakin ini dalam memilih tujuan hidupku, Winda. Sungguh, insya
Allah hanya wanita sholehah sepertimu yang dapat membawa rahmat dan kasih Allah
kepada keluarga kecil kita nanti.” Ujarku dengan segenap hatiku.
“Baiklah,
Im. Aku ikhlas. Hanya jika Allah mengizinkan…” jawabnya dengan pipi yang
memerah mengingatkanku dengan riwayat pujian Rasulullah terhadap istrinya Siti
Aisyah.
“Alhamdulillah…”
ucapku syukur pada Allah yang telah menjodohkan kami. Ini adalah satu dari
nikmat-Nya yang paling indah! Aku pun berseru riang dalam hatiku, “Terima kasih Ya Allah atas berkah menjelang
Ramadhan tahun ini. Nenek, aku telah menemukan gadis baik nan sopan itu…”
0 Komentar:
Posting Komentar