Bukan Status

“Nih sekoteng yang kamu pesan…” ujarnya sambil menyuguhkan segelas minuman berwarna cokelat muda yang di dalamnya banyak jenis makanan kecil pelengkap.

“Makasih, Rey…” kataku singkat sambil menerima minuman hangat itu. Agak panas sebenarnya untuk aku minum, jadi aku harus meniup-niupnya terlebih dahulu sebelum mencicipinya.

“Kamu kenapa suka banget sih sama minuman itu? Eh, aku bahkan tidak bisa menarik kesimpulan apakah itu sebuah minuman atau makanan. Hahahaha mungkin itu adalah sejenis sup…?”

“Hahahaha bisa jadi. Tapi aku yakin ini adalah minuman,” kataku sambil menyeruputnya. “Hanya saja bahan-bahan di dalamnya menambah sensasi nikmatnya minuman ini…”

“Bagaimana dengan yang satu ini? Apakah kamu menyukainya?” tanyanya dengan mengacungkan sebotol minuman bersoda padaku.

“Ah tidak, minuman seperti itu terasa menyakitkan di tenggorokanku. Terdengar norak sekali, bukan? Hahahaha” aku lalu menyendok sedikit air jahe yang ada di gelasku dan meniup-niupnya. “Cobalah, ini akan sedikit menghangatkan tubuhmu…”

Ia pun menyeruputnya, tapi tidak sampai habis. “Ini masih panas sekali!”

“Hahahaha tidak juga. Sensasi pedas pada air jahenya lah yang membuatnya terasa lebih panas.”

“Kau belum menjawab pertanyaanku…” katanya tiba-tiba serius.

“Yang mana?”

“Kenapa kau suka sekali dengan minuman itu?”

“Apakah rasa sukaku pada sekoteng membuatmu begitu penasaran?” tanyaku menyernyit. Kupikir semua orang tidak akan menanyakan kenapa orang lain menyukai sesuatu, aku rasa itu semua hanya sebuah selera.

“Ya.” Jawabnya singkat. Aku hanya mendengus pelan.

“Dulu kakakku sangat menyukai minuman hangat ini. Ia sering membawakannya dan menyuapiku. Minuman ini selalu mengingatkanku padanya. Di samping itu, aku juga suka rasanya kok.”

“Kakak? Aku tak pernah tahu kamu memiliki kakak.” Sekarang ia yang menyernyit ke arahku.

“Ia bukan benar-benar kakakku, Rey. Kami sangat dekat sehingga aku menganggapnya kakakku.”

“Seorang lelaki?”

“Yap!”

“Dan kamu menyukainya?”

“Apa maksudmu?” aku pun menghentikan aktifitasku dengan sekoteng itu.

“Aku hanya bertanya. Apa ada yang salah?”

Jelas itu salah! Ini adalah masalah pribadiku. Aku tak terbiasa untuk mengungkapkan semua hal tentang diriku pada orang lain. Aku adalah orang yang tertutup, bahkan kepada orang-orang terdekatku. Aku hanya tak suka jika ada orang yang mengomentari kehidupanku nantinya.

“Ya, mungkin... Sedikit?”

“Di mana dia sekarang?”

“Rey, sudahlah…”

“Jawab saja pertanyaanku.” Ujarnya sedikit tegas. Aku sedikit kaget dengan reaksinya.

Aku mendengus kesal. Lagi-lagi sifatnya yang tidak kusukai keluar menuju permukaan. “Ia sudah pergi tiga tahun lalu ketika ia pulang dari acara wisudaku…”

Air mataku hampir saja menetes jika aku tidak menarik panjang nafasku. Membicarakan almarhum kakakku memang selalu emosional untukku pribadi. Ia terlalu indah dan terlalu dini untuk pergi dari dunia ini, apalagi dengan cara yang tragis. Aku selalu menghindari pembicaraan tentangnya, tapi aku tak bisa berhenti menyukai hal-hal yang kami sering lakukan bersama. Itu semua seperti telah menjadi kebutuhan penting bagiku, mungkin sama halnya dengan bernafas.

“Maaf…” hanya kata penuh penyesalan itu yang keluar dari mulutnya.

“Tidak apa, Rey. Aku hanya sedang mencoba untuk tidak mengingat-ingatnya lagi.”

“Apakah ini artinya aku belum bisa menggantikannya?”

“Hahaha dia hanya kakakku, kakak yang kusayang. Sedangkan kau? Umm…”

“Apa? Siapa aku bagimu?”

“Apakah status begitu penting untukmu?”

“Ya, hanya agar aku dapat bersikap seperti yang kau mau.”

“Bukankah itu artinya kau berlindung di balik kemunafikkan? Menampilkan dirimu yang aku mau di depanku dan menyembunyikan dirimu yang lain?”

“Bukan seperti itu, Rin. Hanya saja, aku tak mau bertingkah berlebihan dengan rasa sayangku padamu…”

“Tidak ada kata berlebihan untuk menyayangi, Rey, selama kau tidak memberikan seluruh hidupmu untuk orang itu. Cukup Tuhan yang memilikimu seutuhnya…”

“Apa kamu menyayangiku?”

“Ya. Sudah jelas, bukan? Aku tak mungkin menghabiskan ratusan jam selama ini bersamamu jika bukan rasa sayang yang mengikatku padamu.”

“Lalu kenapa kau selalu menolak untuk menjadi pacarku?”

“Untuk apa?”

“Agar aku dapat berkelakuan seperti pacarmu…”

“Apa yang dilakukan seseorang terhadap kekasihnya?”

“Menyayanginya, melindunginya… Mencintainya.”

“Kau tahu? Kau telah melakukan semuanya, aku bisa merasakannya selama ini, kau tidak perlu status itu. Dengan melakukannya, kau sudah menjadi seorang pacar. Siapa seseorang itu ditentukan oleh apa yang ia lakukan, bukan dengan status. Bagiku, ketulusan seseorang melebihi status siapa dirinya. Aku menghargainya, aku juga sangat menyayangimu.”

“Apa berarti sekarang kita adalah sepasang kekasih?”

“Aku tidak berkata seperti itu.”

“Kalau begitu, apa yang membuatmu begitu yakin untuk menolakku?”

“Aku juga tidak menolakmu, Rey. Hanya saja," Aku berhenti sejenak, memilih kata-kata yang tepat. "Aku hanya mampu menyayangimu, tidak untuk terikat secara status. Setidaknya untuk saat ini. Dengan status berarti kau harus mampu berjuang mempertahankannya. Aku hanya... belum siap untuk itu. Maafkan aku.”

“Baiklah, aku terima jawabanmu…” katanya singkat, terdengar penuh keputusasaan di telingaku.

Kami terdiam, memandang langit malam yang gemerlap dengan bintang. Suasana taman malam ini sangat menenangkan dengan suara percikan air mancur mini tak jauh dari tempat dudukku. Sekoteng yang kuminum pun sudah habis, hanya menyisakan beberapa bulir kacang hijau di dalam gelasnya.

Reyhan adalah seorang lelaki impian para wanita, aku yakin itu. Aku yakin semua orang akan berpendapat sama jika mereka melihatnya, apalagi setelah mereka dekat dengannya. Hanya sayangnya, ia menyukaiku yang masih trauma dalam hal percintaan. Mungkin ia sedikit posesif, tetapi ia tak pernah menyia-nyiakan orang yang ia sayang. Ia selalu ingin menjadi yang terbaik untuk orang-orang terdekatnya.

Tak usah ditanya, aku memang telah jatuh hati dengannya. Awal pertemuan kami satu tahun lalu memang sungguh konyol. Ia yang sudah diam-diam menyukaiku bahkan sebelum kami berkenalan, sering sekali mencuri-curi pandang saat melewati rumahku. Ia biasanya hanya menggunakan kaos tanpa lengan untuk berolahraga kecil setiap pagi di depan rumahku. Memang rumahnya hanya berbeda tiga blok dari rumahku. Ia jogging berkeliling perumahan dan berhenti di rumahku hanya untuk sekedar senam dan melihatku menyirami rumput dan mawar. Wajahnya begitu tegas, tapi ekspresi wajahnya selalu mencerminkan kelembutan hatinya. Jujur saja, itu juga yang membuatku suka dengannya pada pandangan pertama.

Aku masih ingat saat pertama kami akhirnya berkenalan. Minggu itu entah kenapa Rey tidak terlihat di seberang sana. Aku jadi malu sendiri mengingatnya, karena kenapa tiba-tiba aku jadi merindukan sosok tegapnya itu? Aku hingga menghentikan aktifitas menyirami tanamanku saat itu. Dimabuk rasa penasaran, aku pun membuka gerbang cokelat tinggi yang memagari rumahku. Ketika itu aku hampir jatuh terkejut karena dia ternyata bersembunyi di tembok samping, namun dengan pakaian yang rapi dan jaket kulit hitam yang mengkilat. Tangan kirinya menangkap punggungku yang hampir terbentur aspal, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah bingkisan yang pada akhirnya kuketahui berisi kue ulang tahun.

Mungkin terdengan klise atau seperti novel-novel drama pasaran lainnya, tapi ini nyata. Aku bahkan tak bisa tidur dan terus mengingat cara mata bulatnya melihat ke arahku. Aku melihat sebuah keinginan untuk membahagiakanku. Aku melihat kepuasan di matanya ketika aku menunjukkan ekspresi terharuku karena diberi kue oleh orang yang bahkan belum pernah kuajak berbicara. Aku melihat sepasang mata yang amat tulus. Aku mulai menyukainya, namun pada saat itu juga aku tak mau menyakitinya dengan masa lalu yang masih sering membayangiku.

“Rini…” panggilnya terdengar syahdu di telingaku, mengembalikanku ke taman yang tadi sempat terlempar kembali ke masa lalu.

“Eh? Ada apa, Rey?”

“Apakah cinta itu benar-benar ada?”

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Aku hanya merasa tak dicintai oleh siapapun…”

“Hahaha aku menyayangimu, Rey. Aku sudah bilang itu berkali-kali. Tak perlu takut, aku akan selalu ada seperti kamu yang selalu di sampingku…” aku pun memeluknya erat, ia membalas pelukanku. Aku bisa rasakan tangannya mengusap rambutku.

“Berjanjilah, Rin, rasa sayang itu takkan berubah hingga kapanpun…” bisiknya sendu di dalam pelukanku.

“Ya, Rey.” Jawabku mantap. “Mungkin bukan status yang bisa kuberikan untukmu, tapi sebuah ruangan khusus di hatiku…”

 
Download this Blogger Template From Coolbthemes.com