Road to Divine Powers - Chapter 1
Bel tanda berakhirnya
pelajaran matematika pun akhirnya berbunyi. Pada saat itu juga pensil yang
kugunakan patah untuk kedelapan kalinya hari ini. Masih ada satu contoh soal
lagi yang harus kucatat padahal, tapi kurasa masih ada Yura yang dapat kupinjam
bukunya. Jadi aku memasukkan semua alat tulis dan buku-buku tebal di atas mejaku
ke dalam tas.
"Nih!"
sebuah buku tulis yang bersampul rapi terjatuh tepat di atas tasku. "Suara
patahan pensilmu sangat mengganggu telingaku. Apalagi ketika kau merautnya di
bawah meja. Untung saja Ms. Ara yang cantik tidak melemparmu ke luar jendela karena
kegaduhan yang kau buat."
Kalian lihat? Yura
memang sangat dapat diandalkan. Maksudku, semacam dapat dipercaya atau dapat
dimintai tolong saat aku kesulitan. Entah kenapa ia seperti selalu saja tahu
apa yang kubutuhkan, bahkan sebelum aku mengungkapkannya. Sama seperti ketika
aku sakit selama beberapa hari, ia dengan suka rela setiap hari menjengukku
dengan berlembar-lembar catatan sebagai parselnya. Kurasa ia menyukaiku atau
semacamnya. Haha.
"Sepertinya
hanya pensilku yang patah, bukan mejaku." timpalku menyernyit. Ayolah,
seberapa berisik sih suara pensil yang patah?
"Hahaha."
Ia hanya tertawa. "Kau tak lupa kan bagaimana Yim diusir dari kelas hanya
karena suara resleting tas yang katanya mahal padahal imitasi itu?"
Mungkin memang harus
kuakui, di belakang wajahnya yang cantik itu ternyata Ms. Ara memiliki
kemampuan indra yang menakjubkan. Ia tidak mengizinkan ada suara sedikit pun
selama pelajarannya berlangsung atau ia akan mengeluarkan sindiran tajamnya─bahkan
mengusir muridnya ke luar kelas jika mood-nya
sedang buruk. Tapi mungkin hari ini aku sedang beruntung. Kudengar ia baru saja
mendapat kesempatan untuk menjadi guru di kerajaan selama seminggu.
Sebuah tangan lain
pun terjulur ketika aku dan Yura hampir melewati pintu. "Kurasa kau butuh
pensil baru, Ed. Milikmu tampaknya sudah lapuk."
Kulihat seorang
wanita berkemeja putih dan berkacamata tipis menyodorkanku sebatang pensil
berwarna emas yang sudah diraut tajam. Pertama kali kupikir ia akan menusukku
terang-terangan dari depan dengan benda itu.
Aku lupa mengatakan
bahwa ia hanya tegas dan menyeramkan selama kelas berlangsung. Ketika kelas
selesai, ia berubah menjadi wanita yang penuh perhatian pada seluruh muridnya.
Ia bahkan tak segan-segan merapikan dasi muridnya di koridor. Tapi ketika ia
ingat bahwa itu adalah yang kedua kalinya, mungkin ia akan mengencangkan sedikit
dasinya hingga anak itu tercekik.
Aku hanya dapat
tertawa gugup sambil menelan ludah saat menerima pensil yang ia sodorkan─berharap
pensil itu tak akan patah ketika ia mengajar minggu depan. "Terima kasih,
Ms. Ara. Aku akan menggunakannya dengan bijak."
Ia hanya tersenyum
dan memperbaiki posisi kacamatanya lalu menghilang di balik koridor menuju
ruang kepala sekolah. Yura sedang cekikikan di sampingku. Muka pucat dan ketakutanku
memang menjadi favoritnya.
"Yuk,
pulang!" perintahku agak sinis melihat Yura menutupi bibir tipisnya yang
masih menahan tawa itu.
"Lagipula,
bagaimana bisa kamu mematahkan pensil sesering itu?" Mulainya
menginterogasi setelah kami keluar gerbang sekolah menuju jalan yang ramai. Maklum,
sekolahku berada di tengah-tengah perkotaan layaknya sebuah mall saja.
"Sedang bersemangat, ya?"
"Entahlah. Aku
juga tak mengerti." Jawabku cuek. "Kau tahu ‘kan tulisanku saja tak
pernah tembus hingga lembar di bawahnya. Pensil itu patah begitu saja padahal
aku tak menekannya sama sekali."
Yura hanya menunduk.
Wajahnya berubah menjadi penuh kekhawatiran. Ia bahkan menggigit satu sisi
bibirnya yang mempertegas perasaan takut yang tampaknya tiba-tiba muncul itu.
"Hey, Yura! Ada apa?"
Aku sampai
mengatakannya tiga kali sambil melambai-lambaikan tanganku di depan wajahnya.
Hampir saja aku menarik kuncir kudanya ketika ia kontan menyadari keberadaanku dan
menjawab dengan singkat. "Gapapa, kok. Makan dulu, yuk, di Kedai Wu. Ia
baru saja merilis menu baru."
Kami pun pergi menuju
kedai milik Paman Wu yang kutahu adalah paman jauh Yura. Tempatnya tak jauh
dari sini, tapi Yura tampaknya sangat terburu-buru seperti takut akan ketinggalan
jam makan siangnya. Aku pun terpaksa sedikit berlari untuk mengimbangi langkah
panjangnya. Aku tahu betul senyumnya yang sekarang itu hanya untuk menutupi
wajah khawatirnya tadi. Mata tak dapat ikut tersenyum seperti bibir ketika hati
merasakan yang lain, kan?
"Hey, Paman! Apa
kabar?" ujarnya yang dapat didengar seantero kedai ketika kami baru saja
membuka pintu koboynya.
Aku berani bertaruh
bahwa Yura memberi kode kepada Paman Wu saat ia berjalan menuju dapur. Aku
dapat melihat perubahan raut wajah Wu yang awalnya gembira akan kedatangan Yura
berubah menjadi kerutan di dahinya. Ketika ia melihat ke arahku, raut wajahnya
kembali berbinar walau pupil matanya yang terlanjur membesar itu malah tampak
kontras dengan senyumannya.
Sayangnya Yura
memunggungiku jadi aku tak dapat melihat gerakan bibirnya. Aku tiba-tiba merasa
sangat penasaran dengan apa yang terjadi. Yah, mungkin saja itu hanyalah urusan
keluarga mereka.
Paman Wu melepas topi
panjangnya dan meninggalkan penggorengan yang masih kosong itu menuju ruangannya
yang berada tepat di samping dapur. Ketika kami sampai di depan pintu ruangan
Wu, Yura menghentikanku.
"Kau duduk saja
menikmati menu baru Paman Wu. Aku ada urusan sebentar dengannya." Aku
hanya menaikkan kedua bahuku. Apa boleh buat, aku tak boleh lancang. Aku pun
mencari meja yang nyaman sedangkan terdengar Yura memesan makanan bernama Sunny Meat pada seorang koki wanita.
"Jadi nama menunya Sunny
Meat?" tanyaku
dalam hati.
Ketika makanannya
sampai, aku cukup terkejut dengan konsepnya. Potongan daging sapi panggang
ditumpuk menyerupai dua buah gunung, di bagian bawahnya potongan daging ayam
yang dipotong tipis-tipis menyerupai sawah serta saus keju yang dibuat seperti
sungai yang mengalir dari kaki gunung lalu membelah potongan daging ayam dan
bermuara di sisi seberang gunung. Di atas gunung tersebut ada kuning telur yang
bulat utuh sebagai matahari. Ukurannya pun bisa dibilang jumbo karena tidak
seperti kuning telur pada umumnya. Sedangkan garis merah yang ternyata saus itu
mengelilingi gunung, sawah dan muara seakan membingkai lukisan yang dapat
dimakan ini. Semuanya disajikan di atas sebuah piring besar yang artistik.
"Bagaimana
menurutmu?" Ternyata itu suara Yura yang sudah berdiri di belakangku.
Tapi, sejak kapan?
"Ini sebuah
mahakarya!" ungkapku hiperbol. "Paman Wu memang seorang chef yang inspiratif!"
"Hahaha. Kau
hanya mau memandanginya saja?" sindirnya sambil mengambil tempat duduk di
depanku.
Aku ikut tertawa
sambil memasang tampang menantang. "Aku bahkan akan menghabisi ini semua
kurang dari dua puluh detik!"
Yura mengambil
stopwatch di sakunya seakan menantangku balik dengan menaikkan alis kanannya.
"Satu..."
Aku meminum segelas
lemon yang segar untuk melancarkan tenggorokanku. "Dua..."
Aku lalu menggenggam
sendok dan garpu perak yang disediakan di atas meja. "Tiga!!"
Dengan gaya kesurupan
pun aku mulai melahap tumpukan daging yang banyak tersebut. Suapan pertama
cukup membuatku berhenti sedetik karena nikmatnya. Sayang sekali aku tak boleh
kalah jika bertaruh dengan Yura, karena jika kalah aku harus mentraktir Yura di
restoran ramen di samping sekolah yang harganya cukup mahal. Terpaksa aku harus
merelakan kenikmatan pertama itu berlalu begitu saja.
Di detik kesepuluh,
aku mulai kewalahan. Padahal masih ada satu gunung lagi dan sawah yang harus
kuhabisi. Di detik kelimabelas, setengah gunung dan sawah sudah kuhabisi semua.
Detik kedelapan belas, tinggal sedikit lagi daging sapi yang harus sudah masuk
di tenggorokanku. Aku hampir saja menang ketika secara aneh sendokku malah
mengarah ke pipi dan menumpahkan suapan terakhir yang harusnya menjadi tanda
kemenanganku itu.
"Teeeettt!!"
Teriak Yura dibarengi dengan tawanya yang pecah.
Stopwatch tersebut
berhenti di 20 detik lebih 9 sekon. Aku tak percaya aku kalah dua kali
berturut-turut darinya. Sambil mengelap pipiku yang lengket dengan keju, aku
pun mengaku kalah dengan berpura-pura tegar. "Baiklah, Yura. You're da
boss!"
"Hahaha!"
Ia masih belum berhenti dengan tawanya yang lama-lama membuatku sedikit
jengkel.
"Baiklah,
baiklah. Sambil menunggu tawamu habis, aku akan mencuci wajahku di kamar mandi."
Ketika sibuk membasuh
seluruh wajahku, musik country yang sedari tadi terdengar cukup keras tiba-tiba
berhenti. Suara air toilet yang tadi sedang mengalir juga seakan lenyap.
Suasana mendadak sunyi. Karena merasa aneh, aku pun berdiri tegak dan mengelap
wajahku yang kuyup.
Hampir saja jantungku
lompat ke luar ketika aku melihat Yura di cermin. Belum berhenti sampai di
situ, aku melihat sebuah bayangan hitam bangkit dari bawah kakiku dan berbicara
seakan kita teman dekat yang lama tak bertemu. Sekarang jantungku benar-benar
terasa terhenti dan otakku serasa membeku saking terkejut dan takutnya. Aku
terjatuh dan kepalaku membentur wastafel. Aku tak ingat apa-apa lagi.
===0===
“Kamu seharusnya tak
terburu-buru seperti itu!”
Terdengar sayup-sayup
suara berat seorang lelaki di sampingku. Dari intonasinya sepertinya ia sedang
berdebat dengan seseorang di depannya.
“Tapi kita tak punya
banyak waktu!” Wanita itu terdengar membela dirinya. “Kalau kita telat dia akan─”
“Ah, Edward!
Bagaimana keadaanmu?” ujar suara lelaki tadi yang ternyata adalah Paman Wu. Di
belakangnya terlihat Yura berdiri dengan kedua tangannya digenggam di dada.
Wajahnya tampak sumringah melihatku sadar.
“Aku baik-baik saja,
kok… Aw!” erangku sedikit saat terasa ngilu di pelipis kananku. Ternyata bagian
itu diperban. Maksudku, sekeliling kepalaku diperban seakan aku baru saja
menjadi korban tabrak lari.
“Apa saja yang kau
ingat, Ed?” tanya Yura dengan mata penuh harap tapi tetap tidak menyembunyikan
hasratnya agar aku menjawab. “Apa kau ingat sesuatu?” tanyanya mengulang.
Aku ingat bahwa ada
sebuah bayangan hitam seperti setan yang mengajakku berbincang akrab. Tetapi
aku terlalu kaget dan terpeleset karena lantainya becek. “Aku kalah taruhan…”
Cuma itu yang bisa
kukatakan. Tawa Yura yang sebenarnya cukup nyaring itu pun memenuhi kamar
sederhana ini. Dindingnya terbuat dari anyaman; atau mungkin dari tembok hanya
saja dilapisi anyaman. Hanya ada satu jendela yang bingkainya terbuat dari
batang bambu yang besar. Tak ada kaca, hanya tirai yang ditutup setengah. Sinar
matahari yang sangat terang seakan menghalangiku untuk melihat ke luar.
Di langit-langit
terdapat sebuah lampu gantung kecil yang berkilau. Sedangkan di atas meja kayu
di sampingku ada segelas air putih, beberapa butir pil dan sebuah foto keluarga
dengan air terjun sebagai latarnya.
“Oh, ya. Aku hampir
saja lupa.” Ujar wanita yang daritadi baru saja selesai dengan tawanya. “Minum ini untuk kesehatanmu.”
Paman Wu pun
membantuku duduk sedangkan Yura menyodorkanku dua buah pil dan memberikanku
minum setelah aku menelan pilnya.
“Sebaiknya kamu
istirahat lagi, Ed.” Ucap koki itu sambil kembali membaringkanku. Rambutnya
tampak necis tanpa topi kokinya.
Lalu keduanya pergi
dan membiarkanku sendirian. Aku pun bisa memperhatikan foto ini dengan lebih
seksama. Ternyata itu adalah foto Paman Wu saat masih muda. Aku bisa
mengatakannya dari kumisnya yang sedikit lebih tipis dari yang sekarang. Ia
sedang menggendong seorang anak perempuan yang dikuncir dengan boneka besar di
tangannya.
“Mungkin anak itu adalah anaknya di
luar kota,” pikirku. Karena
setahuku, ia berasal dari pulau seberang dan datang karena Yura menawarkan
sebuah ruko besar miliknya yang tak terpakai. Ruko usang tersebut sekarang
telah bertransformasi dan dikenal dengan Kedai Wu.
Tiba-tiba kepalaku
berdenyut lagi. Kali ini lebih hebat. Aku bahkan bisa merasakan denyutannya ketika
aku menyentuh perban yang tebal di kepalaku. Aku berusaha menahan eranganku
karena tak mau Paman Wu tambah khawatir. Tapi denyutannya semakin menjadi-jadi.
Kepalaku rasanya mau meledak. Aku pun berteriak sekeras mungkin untuk melepas
rasa sakitnya.
===0===
“Bangunlah, Ed! Hari
sudah siang.”
Lagi-lagi suara Yura
yang membangunkanku. Kali ini tirainya dibuka penuh sehingga sinar matahari
masuk dan menerangi seluruh kamar. Seekor burung gereja hinggap di jendela
memandangiku dan Yura yang sedang duduk di sisi tempat tidur.
“Ada apa?” ucapku
seadanya sambil mengumpulkan nyawaku yang sepertinya berserakan di mana-mana.
“Ini hari sabtu. Hari
yang baik untuk berjalan-jalan ke taman kota.” Serunya bersemangat. “Akan ada
festival kelahiran Dewi Keberuntungan di sana!”
“Festival?” tanyaku
ulang.
“Iyaa! Apa kau lupa?
Kita sudah sepakat untuk pergi ke sana.”
Belum sempat aku
menjawab, ia sudah menarikku dari atas kasur dan mendorongku ke kamar mandi.
“Cepatlah, Ed! Festival itu tak akan menunggu kita!” teriaknya setelah menutup
pintu kamar mandi. Ia benar-benar wanita yang sangat enerjik. Sepertinya tak ada
kata lelah di kamus hidupnya.
“Sudah selesai belum,
Ed?”
Hanya sepuluh menit
mungkin aku berada di kamar mandi tapi entah sudah berapa puluh kali Yura
menanyakan pertanyaan yang sama. Aku menjadi sulit membedakan apakah ia
benar-benar tak sabar untuk pergi ke festival atau hanya ingin meledekku. Jelas
saja, aku tak mau buang-buang tenagaku untuk menjawab. Toh aku pasti akan
keluar jika aku sudah selesai.
“Boleh aku masuk?”
kali ini ia melemparkan pertanyaan yang berbeda ketika aku baru saja selesai
mengenakan kemeja kuningku.
“Ya, silakan.” Ia pun
masuk dan langsung duduk di atas kasur tempatku tidur yang ternyata telah dirapikan.
“Memangnya ada apa aja di festival nanti?”
“Bukan apa-apa. Hanya
bazaar, es krim gratis dan balon.”
Aku menyernyit. “Kau
hanya ingin balonnya?”
“Tidak juga.”
Wajahnya tampak makin sumringah. Matanya melihat ke arahku tapi aku yakin
pikirannya sedang melayang di tempat lain. “Ada teman lama yang akan kutemui.”
“Oh, ya? Siapa itu?”
Aku mengenal Yura
sejak kami masih kecil. Mungkin saat aku masih di umur tujuh tahun ketika ia
tiba-tiba muncul membawakanku es krim vanilla lalu pergi. Lalu yang kuingat ia
baru muncul lagi beberapa hari kemudian di sekolahku dan kami menjadi teman
dekat sejak saat itu. Tapi sejauh ini aku baru tahu ia memiliki teman lama yang
ia tak pernah ceritakan. Se-lama apa, sih?
“Ayo, mari bergegas!”
ia pun bangkit seraya menarik tanganku ke luar kamar yang ternyata ada di
lantai dua Kedai Wu.
Pagi ini kedai masih
tutup dan sepertinya belum ada satu staff pun yang datang. Paman Wu sendiri
tidak terlihat di dapur. Tampaknya hanya ada aku dan Yura di sini.
“Paman sedang pergi
ke pasar lagi untuk mengambil wortel. Ia lupa membawanya ketika sudah membayar.”
Katanya sambil memutar bola matanya. “Paman memang sangat pelupa. Ia bahkan tak
jarang memasukkan garam lebih dari satu kali jika para asistennya di dapur
tidak bekerja sambil mengawasinya.”
Aku hanya tertawa
kecil mendengar sisi lain dari seorang koki yang hebat dari keponakannya
sendiri.
“Bagaimana menurutmu
tentang Sunny Meat?
“Maksudmu tumpukan
daging yang menjadi bahan taruhan kita kemarin?”
Ia hanya terkekeh.
“Setelah pulang dari liburan minggu lalu, Paman tiba-tiba terinspirasi dengan
alam. Ia menjadi antusias untuk membuat replika alam dari makanan olahannya.
Karena menurutnya, memasak adalah satu-satunya hal yang ia bisa. Jadi hanya
dengan makanan ia dapat melampiaskan rasa antusiasmenya.”
“Ia sangat mencintai
pekerjaannya, ya.” Kataku menyimpulkan.
Baru saja kami
berjalan beberapa meter dari kedai, suara terompet pun berkumandang menandakan
akan segera dimulainya parade sebagai acara pembuka festival. Suaranya tak
begitu jauh dari tempat kami berdiri. Yura tampak kaget dan aku mungkin tampak
ingin tertawa melihat mulutnya yang terbuka lebar seperti orang ketinggalan
kereta.
“Ayo, Ed! Kita hampir
telat!”
Ia menarikku dengan
tenaga yang lumayan besar hingga aku hampir jatuh. Kami hanya perlu melalui
beberapa tikungan dan,
“Dooorrr!!!
Dooorrr!!! Dooorrr!!!”
Suara petasan
bersahut-sahutan diiringi dengan balon-balon yang beterbangan di langit. Parade
sudah dimulai. Tarian demi tarian dimainkan oleh orang-orang dengan kostum yang
berbeda-beda. Satu yang paling menarik perhatianku adalah sebuah patung wanita
raksasa dengan rambut panjang dan pakaian seperti suku asli Indian. Di lehernya
sebuah kalung dari taring-taring binatang buas dan sebuah bulu merak di
kepalanya.
Aku mulai panik dan
menyelip di tengah gerombolan orang yang sedang bersorak merayakan festival.
Yura tiba-tiba lepas dari pandanganku! Ia pergi entah kemana tanpa memberitahuku
terlebih dahulu. Hingga aku menabrak sebuah perisai yang dibawa oleh seorang
prajurit. Perisai perak itu malah membuatku terkejut . Bukan karena bentuknya
atau warnanya, tapi mata lelaki yang tercermin di dalamnya.
Tapi prajurit
tersebut langsung menarik perisainya dan kembali berkeliling. Aku yang masih
tak percaya pun langsung mencari cermin tetapi tampaknya hanya ada kaca-kaca
rumah yang gelap. Hingga di sebuah lorong yang sepi aku malah menemukan seorang
gadis dengan kaos dan rok ungu. Tapi ia tidak di sana sendirian.
Ia bersama seorang
wanita yang berpakaian mirip dengan patung raksasa tadi. Mereka tampak sedang
berbincang dengan akrabnya. Hanya saja rambutnya pendek dan tidak ada bulu
merak di kepalanya. Wanita berambut pendek itu tiba-tiba berbisik kepada gadis
tersebut dan matanya mengarah kepadaku.
“Hey, Edward.
Kemarilah! Ada seseorang yang harus kukenalkan padamu.” Ujar Yura sambil
melambaikan tangannya ke arahku.
Aku belum berbicara
apa-apa ketika wanita itu menjulurkan tangannya terlebih dahulu. “Aku Moira. Panggil
saya Moira.” Katanya sambil tersenyum manis. Entah kenapa aku merasakan aura
yang berbeda pada dirinya. Aku bahkan bisa bilang bahwa ia lebih lincah dari
Yura hanya dengan mendengar caranya memperkenalkan diri. Namanya Moira dan aku
bisa memanggilnya Moira… cukup jelas.
Yura terkekeh sambil
menyikut pelan perutku. “Ya, aku Edward.” Sahutku seperti baru tersadar dari
hipnotis. “Senang berkenalan denganmu, Moira.”
DUUUAARRRRR!!!!
Baru saja kami
memperkenalkan diri, sebuah ledakan besar terdengar dari pusat festival. Suara
riuh yang tadinya ceria berubah menjadi suara teriakan yang menyayat hati.
Jantungku semakin saja memburu ketika sebuah suara yang bervolume sangat besar
menyebutkan nama seseorang. Suara yang penuh amarah dan dendam.
“FRANCESCA… TUNJUKKAN
DIRIMU!!!”
Suara itu cukup untuk
membuat seluruh buluku merinding ketakutan. Tak pernah aku mendengar suara
sebegitu menggelegarnya seperti seekor monster. Yura menggenggam tanganku. Aku
bisa merasakan tangannya dingin. Bibirnya pun sedikit pucat. Raut wajah khawatirnya
tak bisa disembunyikan lagi. Raut yang sama seperti yang kulihat kemarin.
“Tutup matamu!!”
Perintahnya dengan jelas ketika bangunan-bangunan di depan kami meledak satu
persatu. Dan ketika ledakan api sudah semakin mendekati kami, aku menutup
mataku dengan pasrah.
“Mbeeeekkk!!”
Hanya suara seekor
kambing yang melewati gendang telingaku. Dan juga suara angin. Bukan hanya
suaranya, tapi aku juga merasakan hembusannya. Suara-suara jeritan yang
menyakitkan itu tiba-tiba hilang ketika aku menutup mataku. Seakan aku baru
saja terbangun dari mimpi buruk.
Saat aku membuka
mataku, seekor kambing tampak sedang memakan rerumputan di atas gunung. Aku tak
percaya kami baru saja berpindah ke atas gunung hanya dalam satu kedipan mata!
Aku masih bisa
merasakan genggaman erat Yura pada tanganku. Giginya saling beradu dengan bibir
terjepit di antara keduanya. Pandangannya menerawang ke suatu tempat.
“Kita berpindah dalam
sekejap?” Itulah hal yang pertama kali kutanyakan ketimbang apa yang terjadi
barusan, atau siapa itu Francesca, atau siapa yang mencari Francesca. Hanya
pertanyaan paling mendasar dan paling tidak berguna yang aku lontarkan.
“Dia benar-benar
kembali, Yura.”
Ternyata Moira masih
ada di belakangku. “Firasat dan angin tak pernah berbohong tentang kabar besar
yang sudah ditakdirkan.”
“Aku tak percaya akan
secepat ini…”
Aku dapat melihat
setetes air matanya mengalir. Baru pertama kalinya aku melihat Yura menangis
seperti ini sejak kami pertama bertemu. Air mata itu lalu menetes di atas
rerumputan dan tumbuhlah bunga kecil yang harum. Aku tentu sangat terkejut atas
apa yang baru saja kulihat.
“Yura… air matamu─”
“Kau masih ingat,
kan, bahwa kau masih berhutang padaku?” Aku hanya mengangguk pelan tanpa
berkata apapun. “Anggaplah hutang itu lunas. Tapi berjanjilah padaku satu hal,
jangan pernah mengatakan semua hal yang telah kau lihat dan akan kau lihat pada
siapapun. Berjanjilah, Ed…”
Aku terdiam sejenak.
“Apa yang harus aku ketahui?”
“Lepaslah kuncir
rambutku.”
“Untuk apa?” tanyaku
balik. Aku tak pernah diizinkan untuk melihatnya tanpa kuncir rambut kesayangannya itu.
“Lakukan saja, Ed..”
Aku pun melepas
kuncirnya perlahan. Ketika kunciran itu telah ada di genggamanku, rambut Yura
berubah menjadi keemasan. Pakaiannya pun memanjang dan berubah menjadi
kehijauan. Matanya berkilau dan sebuah bando dengan lima liontin muncul di atas
rambutnya.
“Yura…”
“Aku adalah Dewi
Kemakmuran, Edward. Yura yang kau kenal selama ini. Dan tiba waktunya untukmu
agar mengetahui segalanya.”
Ia pun menyapukan
tangannya di udara. Kerlap-kerlip bagai bintang menyelimutiku dari kepala
hingga kaki. Kemeja kuningku berubah menjadi sebuah jubah. Serta sebuah topi
bak milik seorang pesulap hinggap di kepalaku.
“Kau adalah Edward
the Magician, anak tunggal sekaligus satu-satunya pewaris kekuatan dari
Francesca the Witch…” ucap Moira sambil menatap mataku dalam-dalam.
Sekarang kuharap
semua yang kulihat dan telah terjadi hanyalah sebuah mimpi...
DUUUAARRRRR!!!!
Langganan:
Postingan (Atom)
About me!
- Odilicious
- An amateur writer, An ambitious daydreamer. A fun seeker. Meet me on Instagram: hadisyuja.
Coretan Nakal
- Desember 2016 (2)
- Juli 2013 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.