Nasihat Cinta

Aku menapakkan kakiku di depan gerbang sebuah pemakaman umum yang cukup terawat. Makam-makam disusun sedemikian rupa dengan rerumputan yang menutupi tiap pusara sehingga terlihat seperti sebuah padang rumput, jika saja tidak dipenuhi dengan keramik-keramik nisan yang tertancam rapi di setiap gundukan.

Sudah seperti ritual tahunan sebelum Ramadhan untuk mengunjungi anggota keluarga yang sudah berpulang ke hadapan-Nya; sekedar membacakan do’a secara langsung di depan makam mereka, juga menabur bunga serta airnya yang wangi.

Aku berjalan di antara nisan-nisan yang mengkilap masih dengan kemeja kerjaku, mencoba untuk tidak menginjak-injak tanah yang menggunung hingga akhirnya aku sampai di depan salah satu makam yang belum ada taburan bunga di atasnya. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru pemakaman, semuanya berjongkok membacakan ayat-ayat suci untuk saudara-saudara mereka.

“Assalamu’alaikum, Nenek dan Kakek. Apa kabar? Aku rindu pada kalian…” seruku lirih, yang tanpa sadar membuat air mataku menggenang. Aku pun lalu membacakan Surah Yaasiin serta do’a untuk ketenangan mereka di sisi-Nya.

Selesai dengan semuanya, aku menaburkan bunga-bunga yang aku sempat beli di luar. Lalu hening. Aku masih enggan untuk pulang. Aku ingin terus menemani mereka yang selalu sayang padaku dulu. Air mata pun mengalir hingga jatuh melalui daguku. Mungkin aku sekarang terlihat seperti sedang menyesali dosa-dosaku pada sang empunya makam. Ya, mungkin. Tapi terlebih, ini adalah tangisan sayang yang pantas mereka dapatkan.

“Nanti kalau kamu sudah besar, nikahilah gadis yang baik dan sopan ya, Ibrahim…”

Aku masih ingat setiap kata yang Nenek ucapkan padaku sepuluh tahun lalu sebelum kepergiannya. Aku juga masih ingat betul dengan jawabanku, “Wanita yang seperti Nenek, kah?”

Saat itu beliau hanya mengekeh, sebuah tawa kecil yang membuat hatiku bahagia bukan main. Aku merasa sangat disayang. Mungkin nasihat yang satu ini adalah nasihat paling sakral dari beliau. Mungkin beliau tahu bahwa malaikat dengan senyum berseri akan segera menjemputnya hingga memberi wejangan seperti itu pada seorang anak yang baru saja lulus SMA?

Namun kebahagiaan itu tidak lama melanda. Beberapa minggu kemudian Nenek pergi menyusul Kakek menuju kebahagiaan abadi. Aku tak bisa membendung pedihku karenanya. Aku sempat merasa putus asa karena lagi-lagi kehilangan figur yang sangat aku kagumi. Tapi aku sadar bahwa Nenek juga pasti akan marah melihatku seperti itu, maka aku pun hidup dan menjalani setiap wejangan yang Nenekku berikan. Sekarang itu sudah seperti sebuah dasar hidup untukku.

Ya, memang kira-kira begitu. Nenek selalu menyuruhku untuk tidak meninggalkan sholat, sedekah dan puasa sunnah. Rendah diri adalah ajaran Nenek yang selalu beliau praktikkan dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau selalu mengajarkanku agama sedangkan Papa dan Mamaku merantau jauh ke negeri orang untuk menafkahi kami. Beliau tahu bahwa aku tidak akan selamanya bersama orang-orang yang kusayang, akan ada saat-saat aku harus sendiri−terutama saat menghadapi malaikat Munkar dan Nakir.

“Dengan agama yang kokoh, kamu akan lebih mandiri…” begitu katanya.

Aku bangkit dan meninggalkan pemakaman yang mulai gelap−tanda langit sore akan segera menurunkan berkahnya. Aku baru saja menaiki motorku dan hendak memakai helmku ketika sebuah wewangian yang lembut sudah menerobos jalur pernafasanku.

“Winda…?” bisikku reflek menyebut nama orang yang kuketahui menyukai wangi lavender seperti ini.

“Iya..?”

Jantungku sontak berdetak dengan sangat keras hingga aku takut bocor. Aku menoleh ke arah suara yang menjawabku barusan dan terpampanglah sesosok wanita cantik dengan setelan gamis putih dan kerudungnya dengan warna yang sama. Ya Allah, hampir saja aku lupa diri untuk memeluknya ketika aku sadar bahwa kita bukan muhrim.

“Ah… Winda! Apa kabar? Lama tak bersua, ternyata aku menemukanmu di sini setelah aku tak menemuimu di Aceh minggu lalu…” selorohku yang tak mampu membendung rindu.

“Assalamu’alaikum…” katanya sambil menempelkan kedua telapak tangannya dan menunduk sopan. Ah, aku lupa salam! Astagfirullah. “Maaf karena tidak memberi tahumu bahwa aku sudah tiga bulan menetap di sekitar sini.”

Ia pun melemparkan senyum manisnya, masih menunduk malu. Aku yakin setan saat ini sedang menggodaku dengan kemampuan terbaiknya. “Menyusulku kah yang meninggalkan Aceh karena sebuah tuntutan pekerjaan lima tahun lalu?” tanyaku melanjutkan percakapan.

“Tidak juga. Aku membantu nenekku berjualan di sekitar sini. Aku tak tega mengetahui beliau sendirian di kota sebesar ini.”

“Oh, begitu… Bagaimana jika aku mengantarmu?”

“Ah, terima kasih, tapi warungnya hanya beberapa meter dari sini…” ia lalu menunjuk ke sebuah kedai di pinggir jalan dengan spanduk besar menutupinya.

“Boleh aku mampir?” tanyaku selanjutnya. Sekalian membahas hal yang sudah kutunda bertahun-tahun, pikirku.

“Boleh saja, tak ada yang akan melarang.” Jawabnya santai.

Winda adalah satu-satunya wanita yang terlihat oleh mata hatiku setelah kepergian Nenek. Kami dahulu adalah tetangga di kota Serambi Mekkah tempatku lahir−walau kami tidak dekat satu sama lain. Namun karena kami sempat sekolah di pesantren dan kelas yang sama, kami jadi bisa lebih mengakrabkan diri hingga kami lulus. Dari dahulu hingga sekarang, ia selalu bisa memukauku dengan kesholehahannya yang turut menghiasi wajahnya yang jelita.

Ia adalah salah satu orang yang membantuku berjalan setelah kepergian Nenekku. Aku sempat mengatakan cinta padanya sebelum aku bertolak ke Jakarta, tapi ia malah bertanya balik tanpa ada kepastian di dalamnya. Aku masih ingat apa yang ia katakan saat itu,

“Cinta yang sejati adalah kepada Allah. Aku takut cinta yang kita jalin nanti malah akan menjauhkan diri kita pada-Nya. Kenapa kita tidak lebih mendekatkan diri kita kepada-Nya saja?”

Tak berapa lama, kami pun sampai dan aku memesan semangkuk lontong sayur buatannya. “Aku sebenarnya juga hendak meluruskan sesuatu, Win… Hanya jika kamu tidak keberatan.”

“Apa itu, Im?”

“Apa jawabannya?” ia lalu membisu, menghentikan perkerjaannya dengan pisau yang sedang ia bersihkan. “Tentang pertanyaanku lima tahun lalu…”

Kami terdiam kaku. Mungkin ia merasa tak nyaman ditanya seperti itu setelah lama berpisah. Tapi aku sudah berumur dua puluh delapan tahun! Aku harus membuat pilihan.

“Aku juga cinta padamu, tidak berkurang sedikit pun. Tapi aku takut akan dosa…”

“Kalau begitu, mari menikah setelah Idul Fitri nanti!”

“Apa kau sudah yakin, Im?”

“Aku tak pernah seyakin ini dalam memilih tujuan hidupku, Winda. Sungguh, insya Allah hanya wanita sholehah sepertimu yang dapat membawa rahmat dan kasih Allah kepada keluarga kecil kita nanti.” Ujarku dengan segenap hatiku.

“Baiklah, Im. Aku ikhlas. Hanya jika Allah mengizinkan…” jawabnya dengan pipi yang memerah mengingatkanku dengan riwayat pujian Rasulullah terhadap istrinya Siti Aisyah.

“Alhamdulillah…” ucapku syukur pada Allah yang telah menjodohkan kami. Ini adalah satu dari nikmat-Nya yang paling indah! Aku pun berseru riang dalam hatiku, “Terima kasih Ya Allah atas berkah menjelang Ramadhan tahun ini. Nenek, aku telah menemukan gadis baik nan sopan itu…”

Road to Divine Powers - Chapter 1

Bel tanda berakhirnya pelajaran matematika pun akhirnya berbunyi. Pada saat itu juga pensil yang kugunakan patah untuk kedelapan kalinya hari ini. Masih ada satu contoh soal lagi yang harus kucatat padahal, tapi kurasa masih ada Yura yang dapat kupinjam bukunya. Jadi aku memasukkan semua alat tulis dan buku-buku tebal di atas mejaku ke dalam tas.

"Nih!" sebuah buku tulis yang bersampul rapi terjatuh tepat di atas tasku. "Suara patahan pensilmu sangat mengganggu telingaku. Apalagi ketika kau merautnya di bawah meja. Untung saja Ms. Ara yang cantik tidak melemparmu ke luar jendela karena kegaduhan yang kau buat."

Kalian lihat? Yura memang sangat dapat diandalkan. Maksudku, semacam dapat dipercaya atau dapat dimintai tolong saat aku kesulitan. Entah kenapa ia seperti selalu saja tahu apa yang kubutuhkan, bahkan sebelum aku mengungkapkannya. Sama seperti ketika aku sakit selama beberapa hari, ia dengan suka rela setiap hari menjengukku dengan berlembar-lembar catatan sebagai parselnya. Kurasa ia menyukaiku atau semacamnya. Haha.

"Sepertinya hanya pensilku yang patah, bukan mejaku." timpalku menyernyit. Ayolah, seberapa berisik sih suara pensil yang patah?

"Hahaha." Ia hanya tertawa. "Kau tak lupa kan bagaimana Yim diusir dari kelas hanya karena suara resleting tas yang katanya mahal padahal imitasi itu?"

Mungkin memang harus kuakui, di belakang wajahnya yang cantik itu ternyata Ms. Ara memiliki kemampuan indra yang menakjubkan. Ia tidak mengizinkan ada suara sedikit pun selama pelajarannya berlangsung atau ia akan mengeluarkan sindiran tajamnya─bahkan mengusir muridnya ke luar kelas jika mood-nya sedang buruk. Tapi mungkin hari ini aku sedang beruntung. Kudengar ia baru saja mendapat kesempatan untuk menjadi guru di kerajaan selama seminggu.

Sebuah tangan lain pun terjulur ketika aku dan Yura hampir melewati pintu. "Kurasa kau butuh pensil baru, Ed. Milikmu tampaknya sudah lapuk."
Kulihat seorang wanita berkemeja putih dan berkacamata tipis menyodorkanku sebatang pensil berwarna emas yang sudah diraut tajam. Pertama kali kupikir ia akan menusukku terang-terangan dari depan dengan benda itu.

Aku lupa mengatakan bahwa ia hanya tegas dan menyeramkan selama kelas berlangsung. Ketika kelas selesai, ia berubah menjadi wanita yang penuh perhatian pada seluruh muridnya. Ia bahkan tak segan-segan merapikan dasi muridnya di koridor. Tapi ketika ia ingat bahwa itu adalah yang kedua kalinya, mungkin ia akan mengencangkan sedikit dasinya hingga anak itu tercekik.

Aku hanya dapat tertawa gugup sambil menelan ludah saat menerima pensil yang ia sodorkan─berharap pensil itu tak akan patah ketika ia mengajar minggu depan. "Terima kasih, Ms. Ara. Aku akan menggunakannya dengan bijak."

Ia hanya tersenyum dan memperbaiki posisi kacamatanya lalu menghilang di balik koridor menuju ruang kepala sekolah. Yura sedang cekikikan di sampingku. Muka pucat dan ketakutanku memang menjadi favoritnya.

"Yuk, pulang!" perintahku agak sinis melihat Yura menutupi bibir tipisnya yang masih menahan tawa itu.

"Lagipula, bagaimana bisa kamu mematahkan pensil sesering itu?" Mulainya menginterogasi setelah kami keluar gerbang sekolah menuju jalan yang ramai. Maklum, sekolahku berada di tengah-tengah perkotaan layaknya sebuah mall saja. "Sedang bersemangat, ya?"

"Entahlah. Aku juga tak mengerti." Jawabku cuek. "Kau tahu ‘kan tulisanku saja tak pernah tembus hingga lembar di bawahnya. Pensil itu patah begitu saja padahal aku tak menekannya sama sekali."

Yura hanya menunduk. Wajahnya berubah menjadi penuh kekhawatiran. Ia bahkan menggigit satu sisi bibirnya yang mempertegas perasaan takut yang tampaknya tiba-tiba muncul itu.

"Hey, Yura! Ada apa?"

Aku sampai mengatakannya tiga kali sambil melambai-lambaikan tanganku di depan wajahnya. Hampir saja aku menarik kuncir kudanya ketika ia kontan menyadari keberadaanku dan menjawab dengan singkat. "Gapapa, kok. Makan dulu, yuk, di Kedai Wu. Ia baru saja merilis menu baru."

Kami pun pergi menuju kedai milik Paman Wu yang kutahu adalah paman jauh Yura. Tempatnya tak jauh dari sini, tapi Yura tampaknya sangat terburu-buru seperti takut akan ketinggalan jam makan siangnya. Aku pun terpaksa sedikit berlari untuk mengimbangi langkah panjangnya. Aku tahu betul senyumnya yang sekarang itu hanya untuk menutupi wajah khawatirnya tadi. Mata tak dapat ikut tersenyum seperti bibir ketika hati merasakan yang lain, kan?

"Hey, Paman! Apa kabar?" ujarnya yang dapat didengar seantero kedai ketika kami baru saja membuka pintu koboynya.

Aku berani bertaruh bahwa Yura memberi kode kepada Paman Wu saat ia berjalan menuju dapur. Aku dapat melihat perubahan raut wajah Wu yang awalnya gembira akan kedatangan Yura berubah menjadi kerutan di dahinya. Ketika ia melihat ke arahku, raut wajahnya kembali berbinar walau pupil matanya yang terlanjur membesar itu malah tampak kontras dengan senyumannya.

Sayangnya Yura memunggungiku jadi aku tak dapat melihat gerakan bibirnya. Aku tiba-tiba merasa sangat penasaran dengan apa yang terjadi. Yah, mungkin saja itu hanyalah urusan keluarga mereka.

Paman Wu melepas topi panjangnya dan meninggalkan penggorengan yang masih kosong itu menuju ruangannya yang berada tepat di samping dapur. Ketika kami sampai di depan pintu ruangan Wu, Yura menghentikanku.

"Kau duduk saja menikmati menu baru Paman Wu. Aku ada urusan sebentar dengannya." Aku hanya menaikkan kedua bahuku. Apa boleh buat, aku tak boleh lancang. Aku pun mencari meja yang nyaman sedangkan terdengar Yura memesan makanan bernama Sunny Meat pada seorang koki wanita.

"Jadi nama menunya Sunny Meat?" tanyaku dalam hati.

Ketika makanannya sampai, aku cukup terkejut dengan konsepnya. Potongan daging sapi panggang ditumpuk menyerupai dua buah gunung, di bagian bawahnya potongan daging ayam yang dipotong tipis-tipis menyerupai sawah serta saus keju yang dibuat seperti sungai yang mengalir dari kaki gunung lalu membelah potongan daging ayam dan bermuara di sisi seberang gunung. Di atas gunung tersebut ada kuning telur yang bulat utuh sebagai matahari. Ukurannya pun bisa dibilang jumbo karena tidak seperti kuning telur pada umumnya. Sedangkan garis merah yang ternyata saus itu mengelilingi gunung, sawah dan muara seakan membingkai lukisan yang dapat dimakan ini. Semuanya disajikan di atas sebuah piring besar yang artistik.

"Bagaimana menurutmu?" Ternyata itu suara Yura yang sudah berdiri di belakangku. Tapi, sejak kapan?

"Ini sebuah mahakarya!" ungkapku hiperbol. "Paman Wu memang seorang chef yang inspiratif!"

"Hahaha. Kau hanya mau memandanginya saja?" sindirnya sambil mengambil tempat duduk di depanku.

Aku ikut tertawa sambil memasang tampang menantang. "Aku bahkan akan menghabisi ini semua kurang dari dua puluh detik!"

Yura mengambil stopwatch di sakunya seakan menantangku balik dengan menaikkan alis kanannya. "Satu..."

Aku meminum segelas lemon yang segar untuk melancarkan tenggorokanku. "Dua..."

Aku lalu menggenggam sendok dan garpu perak yang disediakan di atas meja. "Tiga!!"

Dengan gaya kesurupan pun aku mulai melahap tumpukan daging yang banyak tersebut. Suapan pertama cukup membuatku berhenti sedetik karena nikmatnya. Sayang sekali aku tak boleh kalah jika bertaruh dengan Yura, karena jika kalah aku harus mentraktir Yura di restoran ramen di samping sekolah yang harganya cukup mahal. Terpaksa aku harus merelakan kenikmatan pertama itu berlalu begitu saja.

Di detik kesepuluh, aku mulai kewalahan. Padahal masih ada satu gunung lagi dan sawah yang harus kuhabisi. Di detik kelimabelas, setengah gunung dan sawah sudah kuhabisi semua. Detik kedelapan belas, tinggal sedikit lagi daging sapi yang harus sudah masuk di tenggorokanku. Aku hampir saja menang ketika secara aneh sendokku malah mengarah ke pipi dan menumpahkan suapan terakhir yang harusnya menjadi tanda kemenanganku itu.

"Teeeettt!!" Teriak Yura dibarengi dengan tawanya yang pecah.

Stopwatch tersebut berhenti di 20 detik lebih 9 sekon. Aku tak percaya aku kalah dua kali berturut-turut darinya. Sambil mengelap pipiku yang lengket dengan keju, aku pun mengaku kalah dengan berpura-pura tegar. "Baiklah, Yura. You're da boss!"

"Hahaha!" Ia masih belum berhenti dengan tawanya yang lama-lama membuatku sedikit jengkel.

"Baiklah, baiklah. Sambil menunggu tawamu habis, aku akan mencuci wajahku di kamar mandi."

Ketika sibuk membasuh seluruh wajahku, musik country yang sedari tadi terdengar cukup keras tiba-tiba berhenti. Suara air toilet yang tadi sedang mengalir juga seakan lenyap. Suasana mendadak sunyi. Karena merasa aneh, aku pun berdiri tegak dan mengelap wajahku yang kuyup.

Hampir saja jantungku lompat ke luar ketika aku melihat Yura di cermin. Belum berhenti sampai di situ, aku melihat sebuah bayangan hitam bangkit dari bawah kakiku dan berbicara seakan kita teman dekat yang lama tak bertemu. Sekarang jantungku benar-benar terasa terhenti dan otakku serasa membeku saking terkejut dan takutnya. Aku terjatuh dan kepalaku membentur wastafel. Aku tak ingat apa-apa lagi.

===0===

“Kamu seharusnya tak terburu-buru seperti itu!”

Terdengar sayup-sayup suara berat seorang lelaki di sampingku. Dari intonasinya sepertinya ia sedang berdebat dengan seseorang di depannya.

“Tapi kita tak punya banyak waktu!” Wanita itu terdengar membela dirinya. “Kalau kita telat dia akan─”

“Ah, Edward! Bagaimana keadaanmu?” ujar suara lelaki tadi yang ternyata adalah Paman Wu. Di belakangnya terlihat Yura berdiri dengan kedua tangannya digenggam di dada. Wajahnya tampak sumringah melihatku sadar.

“Aku baik-baik saja, kok… Aw!” erangku sedikit saat terasa ngilu di pelipis kananku. Ternyata bagian itu diperban. Maksudku, sekeliling kepalaku diperban seakan aku baru saja menjadi korban tabrak lari.

“Apa saja yang kau ingat, Ed?” tanya Yura dengan mata penuh harap tapi tetap tidak menyembunyikan hasratnya agar aku menjawab. “Apa kau ingat sesuatu?” tanyanya mengulang.

Aku ingat bahwa ada sebuah bayangan hitam seperti setan yang mengajakku berbincang akrab. Tetapi aku terlalu kaget dan terpeleset karena lantainya becek. “Aku kalah taruhan…”

Cuma itu yang bisa kukatakan. Tawa Yura yang sebenarnya cukup nyaring itu pun memenuhi kamar sederhana ini. Dindingnya terbuat dari anyaman; atau mungkin dari tembok hanya saja dilapisi anyaman. Hanya ada satu jendela yang bingkainya terbuat dari batang bambu yang besar. Tak ada kaca, hanya tirai yang ditutup setengah. Sinar matahari yang sangat terang seakan menghalangiku untuk melihat ke luar.

Di langit-langit terdapat sebuah lampu gantung kecil yang berkilau. Sedangkan di atas meja kayu di sampingku ada segelas air putih, beberapa butir pil dan sebuah foto keluarga dengan air terjun sebagai latarnya.

“Oh, ya. Aku hampir saja lupa.” Ujar wanita yang daritadi baru saja selesai dengan tawanya.  “Minum ini untuk kesehatanmu.”

Paman Wu pun membantuku duduk sedangkan Yura menyodorkanku dua buah pil dan memberikanku minum setelah aku menelan pilnya.

“Sebaiknya kamu istirahat lagi, Ed.” Ucap koki itu sambil kembali membaringkanku. Rambutnya tampak necis tanpa topi kokinya.

Lalu keduanya pergi dan membiarkanku sendirian. Aku pun bisa memperhatikan foto ini dengan lebih seksama. Ternyata itu adalah foto Paman Wu saat masih muda. Aku bisa mengatakannya dari kumisnya yang sedikit lebih tipis dari yang sekarang. Ia sedang menggendong seorang anak perempuan yang dikuncir dengan boneka besar di tangannya.

“Mungkin anak itu adalah anaknya di luar kota,” pikirku. Karena setahuku, ia berasal dari pulau seberang dan datang karena Yura menawarkan sebuah ruko besar miliknya yang tak terpakai. Ruko usang tersebut sekarang telah bertransformasi dan dikenal dengan Kedai Wu.

Tiba-tiba kepalaku berdenyut lagi. Kali ini lebih hebat. Aku bahkan bisa merasakan denyutannya ketika aku menyentuh perban yang tebal di kepalaku. Aku berusaha menahan eranganku karena tak mau Paman Wu tambah khawatir. Tapi denyutannya semakin menjadi-jadi. Kepalaku rasanya mau meledak. Aku pun berteriak sekeras mungkin untuk melepas rasa sakitnya.

===0===

“Bangunlah, Ed! Hari sudah siang.”

Lagi-lagi suara Yura yang membangunkanku. Kali ini tirainya dibuka penuh sehingga sinar matahari masuk dan menerangi seluruh kamar. Seekor burung gereja hinggap di jendela memandangiku dan Yura yang sedang duduk di sisi tempat tidur.

“Ada apa?” ucapku seadanya sambil mengumpulkan nyawaku yang sepertinya berserakan di mana-mana.

“Ini hari sabtu. Hari yang baik untuk berjalan-jalan ke taman kota.” Serunya bersemangat. “Akan ada festival kelahiran Dewi Keberuntungan di sana!”

“Festival?” tanyaku ulang.

“Iyaa! Apa kau lupa? Kita sudah sepakat untuk pergi ke sana.”

Belum sempat aku menjawab, ia sudah menarikku dari atas kasur dan mendorongku ke kamar mandi. “Cepatlah, Ed! Festival itu tak akan menunggu kita!” teriaknya setelah menutup pintu kamar mandi. Ia benar-benar wanita yang sangat enerjik. Sepertinya tak ada kata lelah di kamus hidupnya.

“Sudah selesai belum, Ed?”

Hanya sepuluh menit mungkin aku berada di kamar mandi tapi entah sudah berapa puluh kali Yura menanyakan pertanyaan yang sama. Aku menjadi sulit membedakan apakah ia benar-benar tak sabar untuk pergi ke festival atau hanya ingin meledekku. Jelas saja, aku tak mau buang-buang tenagaku untuk menjawab. Toh aku pasti akan keluar jika aku sudah selesai.

“Boleh aku masuk?” kali ini ia melemparkan pertanyaan yang berbeda ketika aku baru saja selesai mengenakan kemeja kuningku.

“Ya, silakan.” Ia pun masuk dan langsung duduk di atas kasur tempatku tidur yang ternyata telah dirapikan. “Memangnya ada apa aja di festival nanti?”

“Bukan apa-apa. Hanya bazaar, es krim gratis dan balon.”

Aku menyernyit. “Kau hanya ingin balonnya?”

“Tidak juga.” Wajahnya tampak makin sumringah. Matanya melihat ke arahku tapi aku yakin pikirannya sedang melayang di tempat lain. “Ada teman lama yang akan kutemui.”

“Oh, ya? Siapa itu?”

Aku mengenal Yura sejak kami masih kecil. Mungkin saat aku masih di umur tujuh tahun ketika ia tiba-tiba muncul membawakanku es krim vanilla lalu pergi. Lalu yang kuingat ia baru muncul lagi beberapa hari kemudian di sekolahku dan kami menjadi teman dekat sejak saat itu. Tapi sejauh ini aku baru tahu ia memiliki teman lama yang ia tak pernah ceritakan. Se-lama apa, sih?

“Ayo, mari bergegas!” ia pun bangkit seraya menarik tanganku ke luar kamar yang ternyata ada di lantai dua Kedai Wu.

Pagi ini kedai masih tutup dan sepertinya belum ada satu staff pun yang datang. Paman Wu sendiri tidak terlihat di dapur. Tampaknya hanya ada aku dan Yura di sini.

“Paman sedang pergi ke pasar lagi untuk mengambil wortel. Ia lupa membawanya ketika sudah membayar.” Katanya sambil memutar bola matanya. “Paman memang sangat pelupa. Ia bahkan tak jarang memasukkan garam lebih dari satu kali jika para asistennya di dapur tidak bekerja sambil mengawasinya.”

Aku hanya tertawa kecil mendengar sisi lain dari seorang koki yang hebat dari keponakannya sendiri.

“Bagaimana menurutmu tentang Sunny Meat?

“Maksudmu tumpukan daging yang menjadi bahan taruhan kita kemarin?”

Ia hanya terkekeh. “Setelah pulang dari liburan minggu lalu, Paman tiba-tiba terinspirasi dengan alam. Ia menjadi antusias untuk membuat replika alam dari makanan olahannya. Karena menurutnya, memasak adalah satu-satunya hal yang ia bisa. Jadi hanya dengan makanan ia dapat melampiaskan rasa antusiasmenya.”

“Ia sangat mencintai pekerjaannya, ya.” Kataku menyimpulkan.

Baru saja kami berjalan beberapa meter dari kedai, suara terompet pun berkumandang menandakan akan segera dimulainya parade sebagai acara pembuka festival. Suaranya tak begitu jauh dari tempat kami berdiri. Yura tampak kaget dan aku mungkin tampak ingin tertawa melihat mulutnya yang terbuka lebar seperti orang ketinggalan kereta.

“Ayo, Ed! Kita hampir telat!”

Ia menarikku dengan tenaga yang lumayan besar hingga aku hampir jatuh. Kami hanya perlu melalui beberapa tikungan dan,

“Dooorrr!!! Dooorrr!!! Dooorrr!!!”

Suara petasan bersahut-sahutan diiringi dengan balon-balon yang beterbangan di langit. Parade sudah dimulai. Tarian demi tarian dimainkan oleh orang-orang dengan kostum yang berbeda-beda. Satu yang paling menarik perhatianku adalah sebuah patung wanita raksasa dengan rambut panjang dan pakaian seperti suku asli Indian. Di lehernya sebuah kalung dari taring-taring binatang buas dan sebuah bulu merak di kepalanya.

Aku mulai panik dan menyelip di tengah gerombolan orang yang sedang bersorak merayakan festival. Yura tiba-tiba lepas dari pandanganku! Ia pergi entah kemana tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Hingga aku menabrak sebuah perisai yang dibawa oleh seorang prajurit. Perisai perak itu malah membuatku terkejut . Bukan karena bentuknya atau warnanya, tapi mata lelaki yang tercermin di dalamnya.

Tapi prajurit tersebut langsung menarik perisainya dan kembali berkeliling. Aku yang masih tak percaya pun langsung mencari cermin tetapi tampaknya hanya ada kaca-kaca rumah yang gelap. Hingga di sebuah lorong yang sepi aku malah menemukan seorang gadis dengan kaos dan rok ungu. Tapi ia tidak di sana sendirian.

Ia bersama seorang wanita yang berpakaian mirip dengan patung raksasa tadi. Mereka tampak sedang berbincang dengan akrabnya. Hanya saja rambutnya pendek dan tidak ada bulu merak di kepalanya. Wanita berambut pendek itu tiba-tiba berbisik kepada gadis tersebut dan matanya mengarah kepadaku.

“Hey, Edward. Kemarilah! Ada seseorang yang harus kukenalkan padamu.” Ujar Yura sambil melambaikan tangannya ke arahku.

Aku belum berbicara apa-apa ketika wanita itu menjulurkan tangannya terlebih dahulu. “Aku Moira. Panggil saya Moira.” Katanya sambil tersenyum manis. Entah kenapa aku merasakan aura yang berbeda pada dirinya. Aku bahkan bisa bilang bahwa ia lebih lincah dari Yura hanya dengan mendengar caranya memperkenalkan diri. Namanya Moira dan aku bisa memanggilnya Moira… cukup jelas.

Yura terkekeh sambil menyikut pelan perutku. “Ya, aku Edward.” Sahutku seperti baru tersadar dari hipnotis. “Senang berkenalan denganmu, Moira.”

DUUUAARRRRR!!!!

Baru saja kami memperkenalkan diri, sebuah ledakan besar terdengar dari pusat festival. Suara riuh yang tadinya ceria berubah menjadi suara teriakan yang menyayat hati. Jantungku semakin saja memburu ketika sebuah suara yang bervolume sangat besar menyebutkan nama seseorang. Suara yang penuh amarah dan dendam.

“FRANCESCA… TUNJUKKAN DIRIMU!!!”

Suara itu cukup untuk membuat seluruh buluku merinding ketakutan. Tak pernah aku mendengar suara sebegitu menggelegarnya seperti seekor monster. Yura menggenggam tanganku. Aku bisa merasakan tangannya dingin. Bibirnya pun sedikit pucat. Raut wajah khawatirnya tak bisa disembunyikan lagi. Raut yang sama seperti yang kulihat kemarin.

“Tutup matamu!!” Perintahnya dengan jelas ketika bangunan-bangunan di depan kami meledak satu persatu. Dan ketika ledakan api sudah semakin mendekati kami, aku menutup mataku dengan pasrah.

“Mbeeeekkk!!”

Hanya suara seekor kambing yang melewati gendang telingaku. Dan juga suara angin. Bukan hanya suaranya, tapi aku juga merasakan hembusannya. Suara-suara jeritan yang menyakitkan itu tiba-tiba hilang ketika aku menutup mataku. Seakan aku baru saja terbangun dari mimpi buruk.

Saat aku membuka mataku, seekor kambing tampak sedang memakan rerumputan di atas gunung. Aku tak percaya kami baru saja berpindah ke atas gunung hanya dalam satu kedipan mata!

Aku masih bisa merasakan genggaman erat Yura pada tanganku. Giginya saling beradu dengan bibir terjepit di antara keduanya. Pandangannya menerawang ke suatu tempat.

“Kita berpindah dalam sekejap?” Itulah hal yang pertama kali kutanyakan ketimbang apa yang terjadi barusan, atau siapa itu Francesca, atau siapa yang mencari Francesca. Hanya pertanyaan paling mendasar dan paling tidak berguna yang aku lontarkan.

“Dia benar-benar kembali, Yura.”

Ternyata Moira masih ada di belakangku. “Firasat dan angin tak pernah berbohong tentang kabar besar yang sudah ditakdirkan.”

“Aku tak percaya akan secepat ini…”

Aku dapat melihat setetes air matanya mengalir. Baru pertama kalinya aku melihat Yura menangis seperti ini sejak kami pertama bertemu. Air mata itu lalu menetes di atas rerumputan dan tumbuhlah bunga kecil yang harum. Aku tentu sangat terkejut atas apa yang baru saja kulihat.

“Yura… air matamu─

“Kau masih ingat, kan, bahwa kau masih berhutang padaku?” Aku hanya mengangguk pelan tanpa berkata apapun. “Anggaplah hutang itu lunas. Tapi berjanjilah padaku satu hal, jangan pernah mengatakan semua hal yang telah kau lihat dan akan kau lihat pada siapapun. Berjanjilah, Ed…”

Aku terdiam sejenak. “Apa yang harus aku ketahui?”

“Lepaslah kuncir rambutku.”

“Untuk apa?” tanyaku balik. Aku tak pernah diizinkan untuk melihatnya tanpa kuncir rambut  kesayangannya itu.

“Lakukan saja, Ed..”

Aku pun melepas kuncirnya perlahan. Ketika kunciran itu telah ada di genggamanku, rambut Yura berubah menjadi keemasan. Pakaiannya pun memanjang dan berubah menjadi kehijauan. Matanya berkilau dan sebuah bando dengan lima liontin muncul di atas rambutnya.

“Yura…”

“Aku adalah Dewi Kemakmuran, Edward. Yura yang kau kenal selama ini. Dan tiba waktunya untukmu agar mengetahui segalanya.”

Ia pun menyapukan tangannya di udara. Kerlap-kerlip bagai bintang menyelimutiku dari kepala hingga kaki. Kemeja kuningku berubah menjadi sebuah jubah. Serta sebuah topi bak milik seorang pesulap hinggap di kepalaku.

“Kau adalah Edward the Magician, anak tunggal sekaligus satu-satunya pewaris kekuatan dari Francesca the Witch…” ucap Moira sambil menatap mataku dalam-dalam.

Sekarang kuharap semua yang kulihat dan telah terjadi hanyalah sebuah mimpi...

 
Download this Blogger Template From Coolbthemes.com